Sabtu
kemarin, setelah seharian aktivitas mengikuti kuliah umum seminar, cari bahan
di perpustakaan tesis kemudian mengikuti seminar hasil di kampus, saya
memutuskan untuk menunggu dan sholat Maghrib di masjid kampus “Al-Ghifari”
namanya. Saya sangat kesal sekali melihat kondisi masjid yang sangat kotor.
Tulisan ini bukan untuk menyudutkan pihak terkait, tetapi mengajak pihak-pihak
terkait dan para sahabat muslim lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam memperbaiki
identitas sebagai muslim/muslimah yang baik yang mencintai akan kebersihan.
Karena bukankan Kebersihan adalah
sebagian dari Iman???
Sahabat, apakah pantas kamar kecil
dan tempat wudhu di masjid dipenuhi dengan sampah, seperti tisu bekas pakai,
pembalut, dan hal lainnya yang tidak perlu saya sebutkan. Dan selain itu, bau
pesing yang sangat mengganggu indra penciuman. Dan ketika saya naik ke lantai
atas tempat sholat wanita, tempat sampahnya terguling dan tentunya sampahnya
jadi berserakan. Astaghfirulloh, maafkan hamba yaa Alloh, karena saat itu saya
hanya menegakkan kembali tempat sampah itu, bukan merapikannya. Alhamdulillah, akhwat
di belakang saya membantu merapikannya. Saya bersyukur saat itu. Akan tetapi,
mukenanya sangat bau. Hmmm….bukan wakaf mukena baru solusinya, tetapi manajemen
mukena yang lebih baik yaitu cuci secara rutin.
Setelah saya sholat, di bawah
tangga saya melihat tempat sampah dengan isinya yang sudah terurai kemana-mana,
dan tak jauh dari situ sekumpulan aktivis kampus sedang berdiskusi.
Akhwatifillah, kenapa merapikan sisa makananmu begitu sulit??? Isi tempat
sampah tersebut sama dengan kotak makanan yang belum dimakan dimana terletak di
dekat akhwat-akhwat tersebut. Maaf kalau perkiraan saya keliru. Kalau saya
menegur, saya hanya akan emosi dan menjadi manusia TMDL alias Talk More Do
Less. Saya kemudian menghampiri suami saya dan mengajaknya berdiskusi
(cenderung menggerutu sih…heu).
“Temenin ketemu DKMnya yuuk! Aku minta
uang dong 100ribu aja dulu sama ambil amplop di mobil.”
Suami
saya tentu bertanya, “buat apa sayang?”
“Biar
mukenanya di-laundry. Bau bangeet. Bukan mukena baru yang dibutuhin masjid,
tapi mukena bersih.”
Suami
saya tersenyum dan dengan tenang meraih tangan saya untuk menenangkan”Kamu
jangan offensive. Nanti yang ada mereka malah tersinggung. Mungkin bukan disitu
letak akar permasalahannya. Kamu bicarakan dulu dengan DKMnya secara tenang.
Kalau perlu kamu ajak temen-temen kuliah kamu untuk ikut partisipasi. Dengan
uang yang lebih banyak, mungkin akan terbentuk perubahan yang lebih baik.”
Ya,
benar juga. Suami saya kemudian memberikan ide untuk mengumpulkan teman-teman
yang mau berpartisipasi. Saya sudah mulai screening orang-orang yang akan saya
mintakan donasi. Hehehe…
Ide
dari suami saya adalah:
- Beli 2 jenis mukena dengan warna
berbeda, misalnya 5 mukena warna dan 5 mukena putih atau intinya buat mukena
yang digunakan di masjid menjadi 2 kelompok.
- Buat jadwal pakai dan cuci
mukena, misalnya pada saat minggu 1 mukena warna yang dipakai, dan mukena putih
menjadi cadangan. Untuk minggu ke-2 mukena putih yang dipakai dan mukena warna
dicuci. Ketika warna mukena tidak sesuai dengan jadwal berarti jadwal mencuci
tidak dijalankan lagi. Sederhana dan menurut saya efektif. Hal itu sebagai control
bagi para pengurus.
Jujur saya memperkirakan tidak terawat
dan kotornya masjid karena tidak ada yang bertanggung jawab akan kebersihan
masjid alias tidak adanya petugas kebersihan. Apakah hal ini perlu disampaikan
ke Bapak Rektor ya?
Hal ini sangat signifikan berbeda
dengan mushola kampus MB yang bersih dan mukenanya dicuci 2 kali dalam
seminggu. Saya berharap, MB mau melakukan perawatan masjid kampus “Al-Ghifari”
juga. Walaupun mungkin sebenarnya maintenance masjid kampus tidak berada di
dalam cakupan tanggung jawab MB.
Buat para sahabat, kakak-kakak,
adik-adik, om tante, dan para pembaca yang ingin ikut sumbang saran dan
berpartisipasi dengan program perdana yaitu mukena bersih yang saya rancang.
Hubungi saya ya melalui email pribadi:
Jazakumulloh
khairan kastiro