Minggu, 03 Januari 2010

Analisis Amandemen UU No 38/1999

Tulisan ini merupakan hasil karya saya dengan kedua teman saya di kampus. Topic ini dipilih karena pada waktu itu di suatu surat kabar harian menampilkan suatu artikel dengan judul “ Amandemen UU Zakat di Indonesia”. Tulisan di dalamnya mendorong kami untuk melihat dari dua perspektif yang berlawanan tentang perlu atau tidaknya amandeman UU Zakat ini.
Selamat membaca…..

Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas penduduk muslim memiliki potensi zakat yang besar. Berdasarkan estimasi yang dilakukan PEBS FE UI dan CID potensi zakat Indonesia tahun 2009 mencapai Rp 12.655,86 milyar. Dengan potensi zakat yang begitu besar maka pengelolaan zakat merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan agar seluruh potensi zakat dapat terserap dan tersalurkan secara optimal. Selama dekade terakhir ini pengelolaan zakat di Indonesia diatur dalam UU No. 38/1999. Dalam UU tersebut dijelaskan mengenai dana zakat yang dapat dislaurkan melalui BAZ bentukan pemerintah dan LAZ yang bentukan non-pemerintah. Penghimpunan zakat yang dilakukan oleh BAZ, BAZDA, dan LAZ setiap tahunnya mengalami peningkatan. Adapun proporsi dari penghimpunan zakat yang terjadi dari 2002-2007 menunjukkan bahwa penhimpunan zakat oleh LAZ jauh lebih besar dibandingkan oleh BAZ. Hal ini berdasarkan sebagian pendapat masyarakat dipengaruhi oleh tingginya kepercayaan masyarakat terhadap LAZ. BAZ dianggap kurang professional dan banyak terkait dengan birokrasi pemerintah yang biasanya memperlambat kreativitas dan kecepatan kinerja. Berbanding terbalik dengan kinerja LAZ yang semakin kreatif dan melakukan langkah reformatif dalam pengelolaan zakat dimana memudahkan muzakki dalam menyalurkan zakat. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perbedaan proporsi penghimpunan zakat ini disebabkan jumlah LAZ yang beroperasi di Indonesia lebih banyak dibandingkan jumlah BAZ dan BAZDA. LAZ merupakan bukti peneguhan peran masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat di Indonesia yang lahir setelah kehadirannya UU No. 38/1999. Jumlah LAZ yang kini telah tersebar di Indonesia sekitar 200 lebih sedangkan jumlah BAZ /BAZDA kurang dari setengahnya. Meningkatnya jumlah LAZ yang tersebar di Indonesia menunjukkan semakin meningkatnya partisipasi masyarakat.
Di tengah gempitanya pengelolaan zakat oleh masyarakat inilah kemudian muncul wacana mengenai sentralisasi pengelolan zakat yang diambil alih sepenuhnya oleh Negara. Bantuk sentralisasi yang dilakukan pemerintah terdiri dari kewajiban menunaikan zakat bagi wajib zakat (muzakki) dan pemberian sanksi yang tegas bagi muzakki yang melanggar, hanya terdapat satu lembaga pengelola zakat di Indonesia dari tingkat nasional sampai dengan desa/kelurahan serta kaitan zakat dengan pajak yang akan dipertegas. UU No. 38/1999 sebagai UU yang mengatur perzakatan nasional selama satu decade ke belakang memang belum bisa menjawab permasalahan perzakatan nasional. Akan tetapi, adanya amandemen UU berupa sentralisasi pengelolaan zakat yang diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah belum bisa memberikan jaminan akan terjawabnya permasalahan perzakatan selama ini.
Pengelolaan zakat oleh Negara memiliki dampak positif bagi perzakatan nasional. Pengelolaan zakat di bawah otoritas badan yang dibentuk oleh negara akan jauh lebih efektif pelaksanaan fungsi dan dampaknya dalam membangun kesejahteraan umat yang menjadi tujuan zakat itu sendiri, dibanding zakat dikumpulkan dan didistribusikan oleh banyak lembaga yang berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada koordinasi satu sama lain. Sentralisme dalam pengelolaan zakat ini dilakukan agar pendistribusian zakat lebih merata, tidak hanya beredar ke kelompok tertentu, serta untuk program pemberdayagunaan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.
Sentralisme dalam pengelolaan zakat bertujuan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa jika zakat dibagikan sendiri oleh para muzakki kepada mustahik secara langsung, sehingga tujuan utama zakat untuk mengubah nasib seseorang mustahik menjadi muzakki atau dari fuqara menjadi aghniya (orang kaya), hanya ada dalam angan-angan saja.
Pengelolaan zakat oleh negara juga memiliki beberapa dampak negatif. Pertama, penghimpunan dana zakat nasional akan menurun jika dibandingkan dengan sebelum adanya sentralisasi, hal itu disebabkan oleh rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BAZ. Saat ini saja, untuk menyalurkan zakatnya, masyarakat masih sangat percaya terhadap LAZ karena LAZ dinilai inovatif dalam mengumpulkan dan menyalurkan dana zakatnya. Sebaliknya, BAZ yang merupakan bentukan pemerintah terlalu banyak terkait dengan birokrasi yang biasanya memperlambat kreatifitas dan kecepatan kerja BAZ. Tentang transparansi pun, BAZ belum ada yang membuka ke public laporan keuangannya. Sementara beberapa LAZ, telah mengiklankan hasil audit keuangannya oleh auditor independen, melalui media massa. Berdasarkan alasan di atas, tentu tidak mengherankan bila pengumpulan dana zakat melalui LAZ jauh lebih tinggi dibandingkan dengan BAZ. Kedua, keterlibatan masyarakat sipil dalam mengelola zakat akan semakin berkurang karena peran LAZ yang merupakan organisasi zakat bentukan masyarakat berkurang dan sebaliknya peran pemerintah dalam mengelola zakat semakin dominan, dimana birokrasi pemerintah secara umum dipersepsikan korup dan lemah. Ketiga, berkurangnya jejaring donator zakat yang selama ini telah bekerja sama dengan berbagai LAZ. Beberapa LAZ besar di Indonesia telah bekerja sama dengan beberapa instansi sebagai donator zakat bahkan telah ada yang lebarkan sayap ke luar negeri sehingga dana zakat yang terkumpul menjadi lebih besar. Berbeda dengan BAZ yang terkesan berdiam diri menunggu sang muzakki menyadari kewajibannya membayar zakat.
Hal yang mendasari sentralisasi zakat memerlukan pertimbangan yang matang dikarenkan pemerintah dinilai belum siap untuk menyatukan pengelolaan zakat secara nasional. Pengelolaan zakat yang masih berada dibawah Kementrian Agama menjadikan pengelolaan zakat tidak menjadi fokus menteri agama karena masih banyak yang harus diurusi masalah agama di Indonesia, sebaliknya zakat pun memiliki masalah yang kompleks sehingga butuh penanganan yang khusus dengan demikian ide sentralisasi pengelolaan zakat sebaiknya dilakukan apabila pemerintah sudah membentuk Kementrian Zakat dan Wakaf tersendiri.
Pengelolaan zakat oleh Negara dengan sistem wajib merupakan kondisi ideal untuk jangka panjang perzakatan nasional. Dengan penerapan sistem wajib, maka zakat akan bersifat memaksa dengan sanksi bagi pelanggaran sehingga dapat dipastikan penerimaan zakat akan meningkat tajam. Perubahan ini membutuhkan banyak kualifikasi dan waktu yang panjang. Bentuk perubahan yang diperlukan antara lain: (i) perubahan pengelolan sistem keuangan Negara, agar aloksasi dana zakat tetap sesuai dengan koridor zakt sendiri yang tercantum dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 60 (QS. 9:60) yaitu untuk delapan golongan mustahik;(ii) perubahan sistem perpajakan nasional, dimana zakat diharapkan dapat mengurangi besarnya pajak yang dibayarkan muzakki; (iii) penyiapan kerangka kelembagaan dan reformasi SDM yang amanah serta professional; (iv) masa transisi untuk memperhalus perpindahan pengelolaan oleh Negara melalui peningkatan kinerja pemerintah sehingga harapannya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pihak pemeintah.
Bentuk perubahan di atas memerlukan waktu yang panjang. Dalam jangka waktu pendek-menengah, bentuk perubahan untuk mendekatkan potensi dan realisasi zakat, yaitu: (i) pemisahan yang jelas antara regulator, pengawas dan operator; (ii) koordinasi kebijakan dengan instansi terkait yaitu Depkeu, berkenaan dengan isu penegasan hubungan zakat dengan pajak; (iii) upaya mendorong transformasi BAZ-LAZ ke arah manajemen organisasi korporasi untkuk menghimpun zakat dan mendorong sinergi pemberdayagunaan zakat dengan program pemerintah yang diyakini dapt meningkatkan kesjahteraan ummat.

Bagaimana pandangan Anda semua mengenai hal ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar